Jakarta, LayarNarasi.com – Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS), sering menyatakan bahwa normalisasi hubungan dengan Israel semakin mendekat. Namun, di balik pernyataan tersebut, ada sejumlah “tapi” besar berupa tuntutan utama, risiko politik, dan kondisi yang sangat rumit. Artikel ini mengupas sisi lain dari ambisi diplomatik Riyadh.
Klaim Normalisasi: Deklarasi MBS
- Dalam wawancara langka dengan Fox News, MBS menyatakan bahwa negosiasi normalisasi dengan Israel terus berjalan dan “semakin dekat setiap hari.”
- Ia menekankan pentingnya isu Palestina: “Bagi kami, isu Palestina sangat penting. Kita harus menyelesaikan bagian itu … Semoga ini bisa meringankan penderitaan warga Palestina.”
- Namun, normalisasi itu terkait syarat kuat dari Riyadh: Arab Saudi tidak akan mengakui Israel tanpa tercapainya negara Palestina merdeka.
Syarat Utama: Negara Palestina & Tepi Barat
- Menteri Luar Negeri Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan, menyatakan bahwa normalisasi hanya akan dibicarakan jika perang di Gaza berakhir dan negara Palestina terbentuk.
- MBS memberi peringatan keras bahwa jika Israel mencaplok Tepi Barat, peluang normalisasi bisa hancur.
- Pernyataan ini menunjukkan bahwa Saudi tetap menegaskan posisi “dua negara” sebagai prasyarat non-negosiasi bagi hubungan diplomatik penuh.
Politik Dalam Negeri dan Publik Saudi
- Ada analisis bahwa perubahan sikap Saudi terhadap Israel memang disengaja dan dimanfaatkan sebagai strategi diplomatik “dua arah”: mereka bisa menunjukan keinginan normalisasi, tetapi juga menarik diri ketika kondisi berubah.
- Sementara itu, opini publik Saudi tidak selalu mendukung normalisasi. Beberapa riset menunjukkan bahwa banyak warga Saudi menolak ide ini dengan alasan relijius dan solidaritas Palestina.
- Ada laporan bahwa MBS khawatir normalisasi bisa menimbulkan risiko besar secara politik: bahkan kabarnya ia takut terhadap potensi ancaman keamanan terhadap dirinya jika terlalu terbuka normalisasi.
Kritik dari Israel Sendiri
- Beberapa politisi Israel skeptis terhadap syarat Saudi. Misalnya, Bezalel Smotrich tokoh kanan di Israel menyatakan bahwa normalisasi “tidak akan terjadi” jika itu mensyaratkan penciptaan negara Palestina.
- Sikap keras Israel soal beberapa isu Palestina membuat kesepakatan menjadi sangat sulit, karena beberapa figur Israel menolak konsesi besar terkait wilayah atau kedaulatan Palestina.
Apakah Normalisasi Benar-Benar Terjadi?
- Di sisi diplomatik, MBS terus memberikan sinyal positif, tetapi ia juga menyimpan “garis merah” yang jelas: tidak mengorbankan Palestina demi membuka hubungan penuh dengan Israel.
- Saudi tampak mengejar strategi hati-hati: menjaga citra sebagai pendukung Palestina sambil menjajaki kesempatan geopolitik dengan Israel terutama dalam kerangka persaingan regional (misalnya melawan pengaruh Iran).
- Namun, risiko besar tetap ada: jika Israel melanggar syarat yang ajukan Riyadh (mis. pencaplokan wilayah Palestina), semua pembicaraan bisa runtuh.
Pernyataan MBS bahwa normalisasi dengan Israel semakin dekat bukan sekadar retorika. Tapi, “tapi” yang dia sebutkan menunjukkan bahwa Riyadh menempatkan syarat berat: negara Palestina harus berdiri, Tepi Barat tidak boleh caplok, dan konflik Gaza harus resolusikan. Di balik ambisi normalisasi, Saudi berusaha menyeimbangkan kepentingan geopolitik dengan dukungan identitas Arab-Muslim dan tuntutan solidaritas dengan Palestina. Inilah dilema besar Saudi saat ini: membuka masa depan diplomatik baru, tetapi dengan mempertahankan komitmen lama yang sangat sensitif.